We are on Youtube
Jumat, 12 September 2014
Tanggapan Ulama dan Tokoh Lintas Agama Tentang Nikah Lintas Agama.
Rabu 15 Zulkaedah 1435 / 10 September 2014 14:00
MUI: Gugatan UU Perkawinan Bisa Memicu Konflik
WAKIL Ketua Umum MUI Dr.(HC) KH Ma’ruf Amin menilai gugatan terhadap UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan akan menimbulkan keberatan-keberatan yang bisa berujung pada konflik di tengah masyarakat.
“Ini mengundang kemarahan, coba (lihat) nanti akan ada demo-demo yang menolak ini, dan ini justru memancing reaksi sehingga menimbulkan suasana panas,” kata KH Ma’ruf Amin di Kantor MUI Jakarta, Selasa (09/09/2014).
Dia menambahkan, gugatan itu sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat. Selama ini, agama lain secara umum tidak sepakat adanya perkawinan beda agama. Bagi orang Hindu, misalnya, kalau ada agama lain mau menikah, harus dihindukan dulu.
“MUI sudah mengambil pendapat yang mu’tamad, tidak boleh menikah dengan penganut agama lain, seperti yang ada di sejumlah kitab fiqh, sehingga orang menikah dengan beda agama itu tidak akan memperoleh legalitas baik dari sisi agama maupun negara.” tegasnya.
Menurutnya, UU pernikahan saat ini sudah merupakan suatu penyelesaian yang baik, karena sudah disepakati oleh semua tokoh lintas agama.
Dia berharap MK menolak gugatan itu, karena kalau MK menerima gugatan itu akan mengundang masalah baru, bahkan bisa menimbulkan konflik.
[ http://www.islampos.com/mui-gugatan-uu-perkawinan-bisa-memicu-konflik-133463/ ]
Jumat 17 Zulkaedah 1435 / 12 September 2014 09:3
Didin Hafidudhin: Nikah Beda Agama Justru Merusak HAM
MANTAN Rektor Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin menolak dengan tegas upaya pihak tertentu mengajukan gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pernikahan beda agama. Menurutnya jika upaya uji materi UU Perkawinan dilakukan atas alasan HAM, justru langkah tersebut telah merusak HAM itu sendiri.
“Bagi saya langkah uji materil UU perkawinan ke Mahkamah Konstitusi justru akhirnya akan merusak HAM jika akhirnya kawin beda agama dilegalkan. Perkawinan itu akan merusak keluarga bahkan merusak individu itu sendiri. Itu sih menurut penilaian saya hanya dorongan nafsu sajalah,” tegas ketua BAZNAS yang juga guru besar IPB tersebut.
“Pihak-pihak yang berusaha melegalkan kawin beda agama ingin merusak semua tatatan yang sudah mapan, saya yakin akan ditolak oleh MK, menteri agama sudah menolak, semua menolak jadi tidak ada gunanya. Yang seperti ini tidak usah didengarlah,” ujar Didin kepada Islampos usai pembukaan Rakernas BAZNAS beberapa waktu yang lalu di Jakarta.
Ketika ditanya bahwa yang mengajukan uji materi UU perkawinan ke Mahkamah Konstitusi adalah mahasiswi berkerudung, Didin dengan santai menjawab tidak ada jaminan kalau sudah berjilbab pikirannya juga benar.
“Bisa saja pakai kerudung, tapi kan tidak ada jaminan bahwa yang berkerudung otomatis pikirannya benar. Mungkin saja pas mengajukan gugatan saja kerudungnya dipakai,” pungkas Didin.[fq/islampos]
http://www.islampos.com/didin-hafidudhin-nikah-beda-agama-justru-merusak-ham-133836/
Kementerian Agama Republik Indonesia
Sabtu, 13 September 2014
Perkawinan Harus Sesuai Ajaran Agama
Jakarta (Pinmas) —- Perkawinan atau pernikahan merupakan peristiwa sakral. Bersatunya anak manusia dalam pernikahan memiliki dasar hukum yang kuat, baik dari segi agama maupun negara.
“Perkawinan yang hanya dipaksakan karena cinta tidak sesuai agama sebagian besar tidak mencapai tujuan perkawinan. Dalam ajaran Islam menghasilkan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmat,” kata Slamet Effendy Yusuf, salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia kepada pers di Jakarta, Jumat sore (12/09) usai rapat dengan Majelis-Majelis Agama.
Dalam rapat tersebut Majelis-Majelis Agama membuat kesepakatan tentang perkawinan. Kesepakatan itu antara lain menyatakan bahwa perkawinan itu adalah peristiwa yang sakral. Oleh sebab itu, pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing.
Majelis-Majelis Agama Tingkat Pusat yang terdiri dari MUI, PGI, KWI, Walubi, dan Matakin juga menyepakati bahwa negara wajib mencatat perkawinan yang sudah disahkan oleh agama sesuai UU 1 tahun 1974.
Selain itu, kewajiban negara untuk mencatat perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dicatatkan di catatan sipil sesuai dengan UU 23 Tahun 2006 jo UU 24 tahun 2003 tentang Administrasi Kependudukan.
Hadir dalam rapat majelis agama, Slamet Efendy Yusuf (MUI), Jerry Mumampow (PGI), YR. Edy Purwanto (KWI), Philip K Widjaja (WALUBI), Suhadi Sendjaja (WALUBI), Nyoman Udayana S.(PHDI), Yanto Jaya (PHDI), Chandra Setiawan (Matakin), dan M. Zainuddin Daulay (MUI). (ks/mkd)
Senin, 08 September 2014
MK diminta melegalkan Nikah Lintas Agama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengharuskan perkawinan yang seagama digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata dan Anbar Jayadi merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan 'perwakinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu'.Menurut Pemohon, aturan perkawainan dalam undang-undang tersebut akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Atau dengan kata lain, negara 'memaksa' agar setiap warga negaranya untuk mematuhi hukum agama dan kepercayaannya masing-masing dalam perkawinan. Menurut Pemohon, peraturan tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melakukan perkawinan di Indonesia karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi baik secara individual maupun secara institusional. Pemohon menegaskan sudah saatnya melepaskan 'beban' negara untuk menanamkan nilai-nilai luhur agama dan kepercayaan kepada tiap warga negaranya. Menurut Pemohon, tanggung jawab tersebut harus dipikul sendiri oleh warga negara dan negara harus membiarkan masyarakat yang memutuskan berdasarkan hati nurani dan keyakinannya sendiri untuk mengikuti atau tidak mengikuti ajaran agama dan kepercayaan yang dianutnya.Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat ('1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Arief menambahkan, sila pertama dari Pancasila itu menjadi landasan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga para pemuda itu disarankan menyampaikan uraian permohonannya dengan landasan filosofis tersebut. "Hukum di Indonesia harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip netral Ketuhanan yang Maha Esa. Bisa juga uraian dibangun berdasarkan original intent pendirian negara dari pandangan Soekarno. Yang muncul perdebatan filosofis, juga ada sosiologis," ujar Arief. "Kalau itu kita batalkan, nanti perkawinan di Indonesia menurut apa? Bisa juga minta dinyatakan tidak bertentang tapi harus dimaknai. Kalau dihapus, nanti dasarnya apa? Kalau begitu nanti sama saja UU Perkawinan dengan KUHPerdata, perkawinan menurut perdata itu sekuler, padahal tidak," ujar Arief. "Perkawinan di Indonesia itu perjanjian luhur laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga. Kalau Islam mengatakan membentuk keluarga sakinah, mawadah dan warrohmah," papar Arief.Sementara itu, hakim konstitusi Wahiduddin Adams meminta perbaikan permohonan itu. Seperti legal standing dan penajaman alasan kerugian konstitusional yang dialami. "Pemohon statusnya belum kawin semua ya? Mengenai legal standing-nya, kerugian hak konstitusional bersifat spesifik dan dapat dipastikan akan terjadi. Jadi di sini saya lihat kemungkinan akan terjadi pada pemohon, ya potensial akan terjadi," kata Wahiduddin Adams.
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.